(dikutip dari : Buku “Menggali
Warisan Sejarah Kabupaten Rembang” )
....
Wasara nalika taun Syaka : 1336, ana wong Cempa Banjarmlati watara wolung
brayat sing padha pinter nggawe gula-tebu nalika ning negarane .... Wong-wong
mau padha pindhah misah nedya ngudi
nggawe gula tebu abang sing ora kepokil-kemisil kuwi, mangkate liwat segara ngener
mengulon nuli ndarat ring sungapane kali kang gisike sarta
kanan kirine nuli thukul nggenggeng lebeng wit Bongaow ( Ind : Bakau = Jaw : Bengkat ).
Nggone
pindhah kuwi disesepuhi dening Kakek
Pow Ie Din; Sawise ndharat si Kakek nuli nganakake mantram lan semedi,
banjur wiwit nebang wit bongaow mau kang banjur diterusake dening wong2 liyane.
Bumi bubakan kuwi banjur digawe pategalan lan pekarangan sarta
teba, ing sabanjure teba kuwi dijenengake, teba : KABONGAN ; njupuk tembung saka arane wit
Bongaow, dadi Ka-Bonga-an ( Kabongan).
....
Nuju sawijining dina wayah pajar gagat raina ing sasi Waisaka ... ; wong-wong mau arep miwiti
ngrembang (nembang = mbabat) tebu. Sadurunge miwiti ngrembang dianakake Upacara
Suci Sembahyang lan semedi
ning
panggonan tebu sedhapur kang
wiwit/sekawit arep dikepras rong wit, minangka kanggo tebu “Penganten”. Upacara
pangeprasan kuwi arane : “ngrembang sakawit”...
Mengkono
mau asal mula bukane tembung : “ngrembang”
nganti didadekake jenenge kutha REMBANG tumekane wektu saiki iki,3 ...
(sic !)
Terjemahan
bebas :
(
...... Kira-kira Tahun Saka 1336, ada orang Campa Banjarmlati berjumlah delapan
keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika ada di negaranya .....
Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat dipatahkan
itu, berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar
sungai yang pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur (?) pohon bakau.
Kepindahannya itu dipimpin oleh Kakek Pow Ie Din; setelah mendarat, kemudian
mengadakan do’a dan semedi, kemudian dimulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian diteruskan oleh orang-orang
lainnya. Tanah lapang itu kemudian dibuat tegalan dan pekarangan serta
perumahan yang selanjutnya perkampungan
(?) itu dinamakan KABONGAN; mengambil kata dari sebutan pohon “bakau” menjadi “ Ka-bonga-an (Kabongan)”.
...... Pada suatu hari saat fajar menyingsing di bulan
Waisaka .....; orang-orang akan memulai
“ngerembang“ (mbabat; Ind : memangkas) tebu. Sebelum dimulai ”mbabat” diadakan
upacara suci sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dikepras
dua pohon, untuk tebu ”Penganten”. Upacara pengeprasan itu dinamakan : “ngRembang
Sakawit”…. Begitu tadi asal mulainya
kata : ”ngRembang”, sampai dijadikan nama Kota REMBANG hingga saat ini. Menurut mBah Guru,
upacara “ngRembang Sakawit” ini dilaksanakan pada hari Rabo Legi, saat
dinyanyikan kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan
Candra Sengkala : Sabda Tiga Wedha
Isyara.
MASJID AGUNG & KOMPLEK
MAKAM ADIPATI I REMBANG ( PANGERAN SEDOLAUT )
Masjid Agung kota Rembang berada di kawasan yang menyatu dengan rumah dinas Bupati (sekarang Museum RA Kartini), alon-alon kota Rembang, dan terminal kota Rembang;
yang sangat cocok untuk transit (Ishoma), karena berada
di pusat kota di jalur pantura. Masjid ini merupakan cagar budaya termasuk kompleks makam yang berada di
belakang masjid. Bangunan cagar budaya ini dibangun tahun 1814 M oleh Adipati
Condrodiningrat (telah mengalami 6 kali
pemugaran), tetapi bangunan induk
masih dijaga keasliannya. Di belakang masjid ini terdapat makam para Adipati
Rembang diantaranya makam Adipati Sedolaut (tahun 1886). Sebagaimana prototipe
masjid kuno di Indonesia, kawasan masjid juga selalu menjadi kompleks
pemakaman. Di belakang masjid (sebelah barat) terdapat bangunan cungkup model
arsitektur Eropa yang cukup megah, dengan ketinggian batu sekitar 1 (satu) m, bangunan cungkup ini
berbentuk segi delapan yang berpusat pada lima buah makam yang ada di dalamnya.
Kompleks makam ini terkenal dengan sebutan makam Pangeran
Sedolaut (Pangeran Sekarlaut), meskipun di dalamnya terdapat lima buah makam yang secara berjajar dari barat ke timur dan makam-makam tersebut adalah:
- Makam Adipati Condrodiningrat dengan jirat dari semen & nisan berbentuk kurawal dari batu putih (1289 H);
- Makam istri Adipati Condrodiningrat dengan jirat & nisan yang hampir sama makam suaminya (1291 H);
- Makam R. Tumenggung Pratiktoningrat/ Kanjeng P. Sedolaut dengan jirat dari susunan bata & nisan dari semen (tahun 1757 atau 1831 M);
- Makam istri Kanjeng P.Sedolaut dengan jirat & nisan hampir sama dengan suaminya (tetapi tidak tertulis tahunnya);
- Makam istri Patih Pati, yaitu Raden Ayu Sasmoyo dengan jirat dan nisan hampir sama dengan istri P. Sedolaut; yang juga tidak tertulis tahun.
makam sebagai benda cagar budaya yang harus dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar